Abstrak/Catatan
|
Pada awalnya-Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dibuat untuk menanggulangi tindak pidana yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, muncul pelbagai tindak pidana yang modus operandinya rumit dan peralatannya yang canggih, tetapi belum mampu dijangkau oleh KUHP. Mengantisipasi situasi demikian, penyusun KUHP telah memberi ruang dengan cara menambahkan Pasal 103 KUHP. Melalui Pasal a quo, memungkinkan dibuatnya peraturan pidana baru di luar KUHP sebagai hukum pidana, materiil. Selain itu, guna memudahkan proses penuntutan kepada pelaku-diatur pula mengenai prosedur beracara yang juga menyimpang dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dasar penyimpangannya diatur pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, peraturan di luar KUHP selain menyimpang secara materiil juga menyimpang secara formil, Peraturan yang menyimpang tersebut-secara teori disebut sebagai hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana di luar KUHP. Hubungan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus diperkuat oleh postulat quando lex est specialis, ratio autem generalis, generaliter lex est intelligenda artinya meskipun hukum khusus, ia tetap mesti dipahami secara umum. Untuk mencegah terjadinya disharmoni antara peraturan umum dan khusus, maka dikenal asas lex specialis derogate legi generally artinya peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum. Dalam perkembangannya, postulat tersebut sulit diterapkan jika ada dua peraturan khusus yang mengatur objek yang sama. Maka muncul postulat lex specialis sistematis atau kekhususan sistematis. Perkembangan lebih jauh lagi-sesama aturan khusus terkesan saling mengabsorbsi satu sama lain. Penyelesaiannya melalui postulat lex consumen derogat legi consumte adalah peraturan khusus yang elemen-elemennya lebih dominan ketimbang peraturan khusus yang lain. Beberapa prinsip hukum tersebut menjadi fokus kajian dalam buku ini.
|