Sang Pangeran dan janissary terakhir : kisah, kasih, dan selisih dalam Perang Diponegoro
No. Panggil
|
FIC SAL s
|
Pengarang
|
Salim A. Fillah;
|
Tempat Terbit
|
Yogyakarta
|
Penerbit
|
Pro-U Media
|
Tahun Terbit
|
2019
|
Subject
|
Fiksi Indonesia;
|
Klasifikasi
|
FIC
|
Abstrak/Catatan
|
Kyai Gentayu berjingkrak, menaikkan kaki depannya sambil meringkik riang dan sesekali melonjak. Surainya berkibar terentak selaras dengan tapak-tapaknya yang berkecipak. Dengan kepala mendongak, sang penunggang tetap dapat duduk tegak. Lelaki berperawakan tinggi lagi kacak itu tampak seperti sedang menan tandak. Gerak tubuhnya melenggak sesuai lenggok tunggangannya yang rancak. Di sekeliling kuda yang menjejak-jejak para pengawalnya seirama berlari hingga tombak-tombak mereka turut meliuk
bagai pusaran ombak. "Lihat. Paman! Lihat. Sedulur sekalian seru Sang Pangeran yang tiba-tiba memutar kendali kudanya sambil mengacungkan tangan kearah Puri dan Masjid yang dikerumuk api. "Kediaman kita telah
terbakar? Dan tiada lagi tersisa tempat bagi kita di atas Bumi ini! Maka
mari kita semua mencari tempat untuk diri kita di sisi Gusti Allah!" "Kami bersama Anda. Kangjeng Pangeran! Pejah gesang fisabilillah!" sambut para pengikut. "Dan demikian pula kalian, para Janissary terakhir?" tanyanya meminta penegasan di sela ringkik Gentayu yang telah hendak berpacu, tapi dikekang. "Tentu. Pangeran .... Kita adalah kaum. yang apabila Bumi menyempit bagi kita, maka langit yang akan meluas untuk kita! Hiyaaa!" seru Nurkandam Pasha sambil melecut kudanya. Sang Pangeran tersenyum mantap, dan sekali dia lepaskan kekang Gentayu. dua lompatan kuda itu senilai tiga kali loncatan kawanannya. "Hiyaaa .... Hiyaaa ...." Serempak yang lain turut berpacu dan turangga turangga terbaik dari Tegalrejo itu berlari ke arah terbenamnya mentari sebelum membelok ke selatan menyusur tepian Kali Bedog. "Maktuub ...!" Katib Pasha yang ada di barisan belakang betbisik dengan memejam mata sambil mengusap surai tunggangannya dan menunduk khusyuk. Sejak senja yang gerah. Rabu 5 Dzulhijjah 1240 Hijriah, salah satu Perang Sabil paling berdarah di Nusantara itu telah pecah.
|