Hadji Agus Salim : diplomat nyentrik penjaga martabat Republik
No. Panggil
|
FIC MUS h
|
Pengarang
|
Haidar Musyafa; Faried Widjan;
|
Tempat Terbit
|
Tangerang Selatan
|
Penerbit
|
Imania
|
Tahun Terbit
|
|
Subject
|
Agus Salim; Biografi; Fiksi Indonesia;
|
Klasifikasi
|
FIC
|
Abstrak/Catatan
|
Saat mewakili Indonesia dalam Perjanjian Renville pasca Agresi Militer Belanda II, Agus Salim menentang keras pernyataan utusan Belanda yang mengatakan bahwa Republik sudah mengkhianati nota kesepahaman Linggarjati. Kepada Kapten Van Vredenburg ia berkata, “Apakah tindakan tuan-tuan dalam aksi agresi bisa dikatakan benar dan tidak menyalahi nota Linggarjati? Jika tuan-tuan, sekali lagi, melancarkan aksi militer terhadap Republik, jangan heran jika kami akan mendapat pengakuan de jure dari seluruh dunia!” Utusan Belanda itu diam, tak bisa berkutik. Di sela menghadiri penobatan Ratu Elisabeth II pada 1953, ia hampiri Pangeran Philip dan mengayun-ayunkan rokok kretek yang dipegangnya ke dekat hidung sang pangeran. “Apa Paduka mengenali aroma ini?” tanyanya. Sang Pangeran mengaku tidak mengenalnya. Ia tersenyum dan berkata, “Sebab aroma ini tiga ratus tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan untuk mendatangi negeri kami!”Hadji Agus Salim adalah sosok diplomat yang sangat cerdik, antiminder, dan pendebat ulung yang pernah dimiliki Republik ini. Seorang jenius yang sangat kritis, ulama moderat, sumur intelektual dan kearifan. Pantas jika Bung Hatta memberikan sanjungan, “Sikapnya yang tangkas itu memberikan garam dalam ucapannya. Biasanya terdapat dalam perdebatan atau tulisan yang menangkis serangan lawan atau dalam pertukaran pikiran yang berisikan lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan orang dalam bahasa Belanda: Salim op zijn best.” Prof. Schermerhorn mengakui kecemerlangan intelektual Agus Salim, seperti dikutip sejarawan Asvi Warman Adam (2004), Schermerhorn pernah berujar, “Orang tua yang sangat pandai ini seorang genius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat.”
|